Enam Hari Penciptaan Jagat Raya

Senin, 18 Agustus 2008

Oleh: Dr. Rosihon Anwar

Mengkompromikan Kontradiksi

Proses penciptaan alam semesta dalam Al-Qur’an sering menggunakan istilah sittati ayyam atau ”enam hari”. Istilah ini antara lain terdapat pada surat [7]:54, [10]:3, [11]:7, [25]:59, [32]:4, dan [50]:38. Selain ayat-ayat tersebut, ada juga beberapa ayat yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta seperti dalam surat [41]:9, 10, 12 dan [79]:27-33.

Untuk memahami makna sittati ayyam dalam konteks penciptaan alam semesta, masing-masing ayat tersebut tidak bisa ditafsirkan secara terpisah. Para mufassir meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian yang lain (Al-Qur’anu yufassiru ba’dluhu ba’dlan). Sehingga istilah sittati ayyam harus ditafsirkan dengan melihat ayat-ayat lain yang terkait penciptaan alam semesta.

Akan tetapi, jika kita membandingkan ayat-ayat tersebut, akan terlihat sebuah permasalahan dalam Surat Fushshilat ayat 9, 10, dan 12. Dalam ayat 9 disebutkan: ”….yang menciptakan Bumi dalam dua masa……”; kemudian dalam ayat 10: ”…..menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa….”; dan ayat 12: ”maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…….”.

Jika masa-masa dalam ketiga ayat tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya menjadi 8 masa, bukan 6 masa (sittati ayyam) seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat lainnya. Apakah hal ini berarti ada kontradiksi dalam Al-Qur’an? Tentu tidak akan ada mufassir yang beranggapan demikian.

Sebagian mufassir kemudian mencoba menafsirkan rangkaian ayat tersebut sebagai berikut. Mula-mula Bumi diciptakan selama dua masa (surat [41]:9). Setelah itu, diciptakan pula isinya selama dua masa. Jadi, istilah ”empat masa” dalam surat [41]:10 sebenarnya memasukkan dua masa penciptaan Bumi dalam ayat sebelumnya. Dilanjutkan dengan penciptaan langit selama dua masa (surat [41]:12), maka jumlah keseluruhannya ialah enam, bukan delapan masa.


Dari Ketiadaan Menuju Ketetapan

Dalam ketiga ayat tersebut di atas, terdapat tiga istilah yang agak berbeda maknanya, namun diterjemahkan sama rata sebagai ”penciptaan”. Pertama, khalaqa pada surat [41]:9 yang bermakna ”menciptakan dari bahan yang belum ada sebelumnya”. Kedua, ja’ala dalam surat [41]:10, yang bermakna ”menyusun, mengolah bahan yang telah ada sebelumnya menjadi ciptaan baru”. Istilah ketiga ialah qadla dalam kata faqadlahunna (surat [41]:12). Istilah ini bermakna ”menetapkan”. Penggunaan istilah qadla (”menetapkan”) dalam ayat [41]:12 terkait dengan penciptaan langit: ”Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…”

Jika ditilik dari urutan pembahasan ketiga ayat tersebut, maka ”penetapan” tujuh langit berada pada bagian paling akhir rangkaian penciptaan. Namun, mengingat alam semesta senantiasa berproses, maka ”menetapkan” di sini tidak bisa disamakan dengan ”menyelesaikan”. Yang ”selesai” bukanlah fisik langit atau alam semesta, melainkan hukum-hukumnya. Dengan hukum-hukum itulah, alam semesta terus menerus berproses.

Hal lain yang menarik ditinjau adalah kata sittati ayyam dalam Al-Qur’an selalu diawali oleh kata fii yang menunjukkan suatu proses yang kontinyu, tanpa ada jeda. Berdasarkan ini dan uraian mengenai ketiga istilah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta terjadi melalui sejumlah tahapan yang kontinyu: dimulai dengan penciptaan dari ketiadaan, penciptaan baru dari ciptaan-ciptaan sebelumnya, hingga penetapan hukum-hukum alam.


Enam, Tujuh, atau Berapa?

Selain Al-Qur’an, sejumlah hadits juga mengabarkan penciptaan alam semesta. Salah satunya adalah hadits At-Thabari nomor 17.971 yang terdapat dalam Shahih Muslim. Berbeda dengan Al-Qur’an, hadits ini menjelaskan bahwa alam semesta tercipta dalam 7 hari.

Menurut hadits tersebut, Allah SWT menciptakan tanah pada hari Sabtu. Lalu, menciptakan gunung pada hari Ahad dan pepohonan di hari Senin. Kemudian menciptakan hal-hal negatif pada hari Selasa, cahaya di hari Rabu, dan mengembangbiakkan ciptaannya pada hari Kamis. Terakhir, Allah menciptakan Adam pada hari Jum’at ba’da Ashar.

Hadits lain menyebutkan bahwa Allah SWT memulai penciptaan Bumi pada hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan selesai hari Jum’at (6 hari). Asumsi yang digunakan ialah 1 hari dalam hadits ini sama dengan 1000 tahun. Jadi, mana yang benar? Enam, tujuh, atau berapa?

Kita harus ingat bahwa penyebutan angka tidak mesti bermakna eksak. Misalnya saja angka 7 dalam bahasa Arab menunjukkan jumlah yang banyak, kaki seribu yang berarti berkaki banyak, dan 1001 malam untuk menggambarkan banyaknya kisah di Negeri Persia. Jadi, apakah sittati ayyam memang menyebutkan tahapan penciptaan alam semesta, atau sekadar menunjukkan bahwa penciptaan alam itu sangat rumit sehingga perlu digambarkan dalam bilangan yang lebih dari tiga?

Dalam tafsir lama maupun modern, belum ada penjelasan rinci tentang sittati ayyam. Istilah ini diterima secara imani saja, bukan sebagai sebuah isyarat ilmiah. Meskipun demikian, bukan berarti penafsiran ilmiah tidak diperlukan. Tafsiran ilmiah apapun atas sittati ayyam dapat diterima asalkan tidak bertentangan dengan tafsiran ayat lain.

Dalam penafsiran dikenal teori munasabah, yaitu sebuah ayat selalu terkait dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat berisi penjelasan mengenai karya Allah SWT seperti penciptaan alam, selalu mengawali ayat-ayat berisi penjelasan mengenai tauhid. Sehingga, setiap penafsiran mengenai penciptaan alam harus bermuara pada ketauhidan.

Al-Qur’an memang memiliki karakteristik yang mengagumkan, sebagaimana ungkapan Ibnu Abbas, ”Al-Qur’an itu bagaikan permata yang memancarkan cahaya dari sisi yang berbeda-beda.” Wallahu a’lam bisshawab[]

Sumber : Misykatul Anwar

Kebenaran informasi Al Qur'an tentang penciptaan Jagat Raya

Dalam terbitannya tanggal 12 April 2003, The New York Times memuat tulisan ahli astrofisika terkenal Paul Davies berjudul "A Brief History of the Multiverse" ["Sejarah Singkat Teori Multiverse (Jagat Raya Jamak)"]. Dalam tulisan ini, Prof. Davies berupaya mempertahankan pernyataan bahwa terdapat kemungkinan adanya jagat raya berjumlah tak hingga, dan jagat raya kita telah secara kebetulan menjadi cocok bagi adanya kehidupan. Ini adalah pernyataan terbaru yang telah digunakan kalangan pemikir materialis untuk mengelak ketika mendapati adanya perancangan sangat cermat dan sempurna di alam semesta.

Kami pertama-tama perlu menjelaskan mengapa para materialis membuat pernyataan seperti ini: selama ribuan tahun, agama-agama samawi dan berbagai filsafat yang mengakui keberadaan Tuhan menyatakan bahwa terdapat tujuan dan perancangan di alam semesta. Sebaliknya, kaum materialis – yakni mereka yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi – telah menolak adanya tujuan dan perancangan. Namun, serangkaian penemuan di bidang astronomi dan fisika di abad ke-20 mengungkapkan bahwa perancangan di jagat raya sungguh jelas sehingga tak mungkin dapat diingkari. Berbagai penemuan ini mengungkapkan bahwa di saat awal terbentuknya jagat raya, seluruh variabel, dari kecepatan ledakan Big Bang hingga kekuatan empat gaya fundamental, dari struktur unsur-unsur hingga struktur Tata Surya yang kita huni, benar-benar sesuai untuk menyangga kehidupan. Penemuan besar ini, yang oleh para ilmuwan di tahun 1970-an diumumkan dan dipaparkan sebagai the Prinsip Anthropik (yang menyatakan bahwa jagat raya secara khusus telah dirancang agar sesuai untuk kelangsungan hidup manusia), secara jelas menggugurkan pendapat kaum materialis tentang ketiadaan perancangan.

Dalam tulisannya yang dimuat The New York Times, Paul Davies merangkum fakta ini dan mengakui kesimpulan tak terelakkan tentang keberadaan Tuhan:
Mengapa alam ini begitu cerdas – bahkan mungkin ada yang berkata dengan curiga – begitu bersahabat dengan kehidupan? Mengapa hukum-hukum fisika begitu penduli terhadap kehidupan dan kesadaran sehingga hukum-hukum ini bersekongkol untuk membuat jagat raya yang nyaman dihuni? Ini hampir seolah Perancang Maha Hebat telah melakukan semuanya.
Akan tetapi, meskipun menganggap perancangan di jagat raya sebagai bukti keberadaan Tuhan, Prof. Davies mengingkari kenyataan ini. Agar dapat menjelaskan asal-usul perancangan di jagat raya, ia terpaksa menggunakan teori multiverse (jagat raya jamak), sebagai pilihan terakhir kalangan materialis, sebagaimana telah kita pahami.


Teori Multiverse (Jagat Raya Jamak)

Menurut teori ini, jagat raya (universe) yang kita tempati mungkin hanyalah satu dari sekian banyak jagat raya (universes) berjumlah tak hingga yang membentuk sebuah "jagat raya jamak" yang jauh lebih besar lagi yang dinamakan "multiverse" (=kumpulan dari banyak "universe", multi=banyak/jamak, uni=satu/tunggal). Dalam pandangan kalangan materialis, sangatlah biasa jika ada satu atau beberapa dari jagat raya berjumlah banyak tersebut yang cocok bagi kehidupan.

Namun, adakah satu bukti ilmiah pun yang mendukung teori ini? Tidak. Tidak ada sama sekali. Ini tak lebih dari sekedar rekaan. Yang menarik dari tulisan Prof. Davies adalah ia berusaha memberi kesan seolah-olah benar-benar ada cukup banyak bukti penting yang mendukung teori multiverse. Terdapat keterangan singkat pada surat kabar tersebut yang merangkum tulisannya, dan diarahkan untuk memunculkan kesan tersebut:
"Gagasan tentang jagat raya jamak, atau realitas jamak, telah ada selama berabad-abad. Akan tetapi, pembenaran ilmiah yang mendukungnya adalah hal yang baru."

Siapa pun yang memahami kalimat pendahuluan ini tanpa membaca keseluruhan tulisan tersebut akan benar-benar mendapatkan kesan bahwa teori multiverse didasarkan pada bukti ilmiah nyata dan bahwa Prof. Davies akan memaparkan bukti-bukti ini di dalam tulisannya. Namun sebaliknya, bukti seperti itu tak pernah ada, dan nyatanya penulis tidak menyebutkan sepatah kata pun tentang bukti ilmiah baru ini, yang pastilah akan dibicarakannya dengan penuh percaya diri jika memang ada.

Sebaliknya, terdapat sejumlah pengakuan dalam tulisan Prof. Davies bahwa teori multiverse hanyalah reka-reka saja. Menurut Prof. Davies, teori multiverse telah dirumuskan "dengan cara berimajinasi." Terlebih lagi, berkenaan dengan teori ini ia mengatakan bahwa "tingkat kebenarannya mencapai suatu batas" dan teori ini "semakin lama semakin wajib diterima berdasarkan keyakinan."

Singkatnya, ketertarikan Prof. Davies dan semua kalangan materialis lainnya terhadap teori multiverse lebih disebabkan kecenderungan pribadi daripada keberadaan bukti ilmiahnya. Titik awal yang memunculkan kecenderungan pribadi ini adalah keengganannya untuk menerima bahwa jagat raya adalah karya Pencipta. Paul Davies menyatakan fakta ini dalam tulisannya. Ia mengatakan bahwa penjelasan apa pun yang didasarkan pada perkataan "Tuhan menjadikannya demikian" tidaklah "memuaskan" bagi seorang ilmuwan.


Tujuan Ilmu Pengetahuan Materialistik

Permasalahan tentang "kepuasan" atau "ketidakpuasan" sebenarnya menjadi titik tolak ilmu pengetahuan materialistik. Pandangan ilmu pengetahuan ini menjadikan pengingkaran akan keberadaan Tuhan dalam menjelaskan alam kehidupan dan jagat raya sebagai tujuan. Sebagaimana dijelaskan Benjamin Wiker dengan sangat rinci dalam bukunya yang penting Moral Darwinism: How We Became Hedonists (Darwinisme Moral: Bagaimana Kita Menjadi Para Pencari Kenikmatan Dunia), niatan ini selalu berada di belakang upaya untuk membangun suatu ilmu pengetahuan yang mengabaikan keberadaan Tuhan, yang telah ada sejak Epicurus hingga Charles Darwin, dan kalangan materialis zaman sekarang. Kaum materialis berupaya mati-matian membangun dan membuktikan berbagai teori yang mengingkari keberadaan Tuhan, bukan karena ilmu pengetahuan menghendaki demikian, akan tetapi karena pola pikir dan filsafat mereka yang menghendakinya.

Sebaliknya, ilmu pengetahuan sendiri malah secara kuat selalu mengungkap kebenaran yang terus-menerus berusaha diabaikan kaum materialis: yakni bahwa jagat raya penuh dengan bukti keberadaan Pencipta. Dia-lah yang menciptakannya dari ketiadaan, dan merancang seluruh isinya dengan sangat mengagumkan.
Bukti-Bukti Keberadaan Allah

Teori multiverse (jagat raya jamak) adalah satu di antara sejumlah teori yang dikemukakan dalam rangka menolak kebenaran tersebut. Teori ini pun sama sekali tidak memiliki landasan ilmiah. Ketiadaan bukti ilmiah apa pun yang mendukung teori ini, sebagaimana diakui Prof. Davies sendiri, menjadikan teori tersebut sebatas pada keyakinan belaka. Keyakinan yang tak memiliki bukti ilmiah. Tambahan lagi, sungguh memperdayakan jika kaum materialis membuat pernyataan seperti: "Anda percaya bahwa Tuhan menciptakan jagat raya, kami percaya pada keberadaan banyak jagat raya," dengan kata lain mereka menganggap keduanya memiliki semacam kesamaan. Hal ini dikarenakan:

1) Penjelasan masuk akal atas adanya perancangan di jagat raya adalah keberadaan sang perancang cerdas. Ketika Anda melihat sebuah patung, Anda yakin bahwa pastilah terdapat seorang ahli patung. Bantahan seperti "Karena terdapat bebatuan berjumlah tak hingga di jagat raya, maka yang satu ini terbentuk begitu saja dengan sendirinya secara kebetulan," sudah tentu sangat tidak masuk akal. Sejalan dengan kaidah logika yang dinamakan pisau cukur Occam – yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling jelas dan langsung tentang suatu permasalahan wajiblah diterima – maka asal-usul kesempurnaan dan kecermatan perhitungan dan pengaturan di jagat raya wajib dijelaskan dengan istilah perancangan (desain) dan bukan kebetulan. (Lebih lengkapnya, silakan membaca The Creation of the Universe karya Harun Yahya)

2) Terdapat jauh lebih banyak bukti ilmiah keberadaan Tuhan daripada sekedar kecermatan sempurna pengaturan jagat raya. Sebagaimana para materialis lainnya, Paul Davies yakin bahwa Darwinisme telah memecahkan permasalahan seputar asal-usul makhluk hidup, atau paling tidak ia menghibur diri sendiri dengan teori tersebut. Namun kenyataannya kini Darwinisme adalah sebuah teori yang telah diragukan kebenarannya, dan kini telah dibuktikan dengan kuat bahwa terdapat perancangan cerdas pada peristiwa kemunculan makhluk hidup. Ini adalah pembuktian ilmiah atas fakta bahwa selain menciptakan jagat raya dengan keseimbangan dan perancangan tanpa cacat, Tuhan juga turut campur mengatur jagat raya yang telah diciptakan-Nya (Selengkapnya, silakan membaca Darwinism Refuted karya Harun Yahya.)

3) Terdapat banyak bukti bagi keberadaan Tuhan di luar bidang ilmu pengetahuan positif. Penemuan-penemuan di banyak bidang seperti psikologi manusia, bukti keberadaan ruh manusia, naskah-naskah kitab suci, dan informasi menakjubkan dalam Al Qur’an, Kitab Suci terakhir, membuktikan keberadaan Tuhan serta fakta bahwa Dia menciptakan manusia dan menunjukkannya ke jalan yang benar melalui agama. (silakan membaca tulisan Harun Yahya berjudul "The Fall of Atheism")

Di sisi lain, kalangan materialis tak mampu menemukan penjelasan lain ketika menghadapi bukti-bukti yang semakin menguat dan bertambah banyak yang menentang mereka. Yang hanya mampu mereka lakukan tak lebih hanyalah menelorkan teori-teori baru hasil rekaan. Persis sebagaimana Paul Davies, yang memulai dengan mengatakan tentang "bukti baru yang mendukung teori multiverse (jagat raya jamak)", namun tanpa menyebutkan satu pun tentang bukti baru tersebut.

Apa yang sepatutnya dilakukan oleh Prof. Davies adalah mengkaji ulang penemuan–penemuan ilmiah seputar asal-usul jagat raya. Namun ia hendaknya melakukannya bukan dengan berharap menemukan kesimpulan "memuaskan" dari sudut pandang keyakinan materialis, akan tetapi dalam rangka menemukan kebenaran hakiki. Dengan demikian ia berkemungkinan memahami kebenaran penciptaan, yang sudah sedemikian sering terpampang di pelupuk matanya, dan akhirnya memahami keberadaan Tuhan, Pencipta dirinya sendiri dan Pencipta seluruh manusia.

Penciptaan Jagat Raya Menurut Al Qur'an

Ensiklopedia Islam - Islam dan Science

Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat berikut:

"Dialah pencipta langit dan bumi." (Al Qur'an, 6:101)

Keterangan yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini.

Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.

Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu.


Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan.

Dalam Al Qur'an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan sebagaimana berikut ini:

"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya." (Al Qur'an, 51:47)

Kata "langit", sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di banyak tempat dalam Al Qur'an dengan makna luar angkasa dan alam semesta. Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini. Dengan kata lain, dalam Al Qur'an dikatakan bahwa alam semesta "mengalami perluasan atau mengembang". Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan masa kini.

Hingga awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya diyakini di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian, pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern, mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan ia terus-menerus "mengembang".

Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang.

Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang". Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur'an pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur'an adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.

Satu ayat lagi tentang penciptaan langit adalah sebagaimana berikut:

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Al Qur'an, 21:30)

Kata "ratq" yang di sini diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" digunakan untuk merujuk pada dua zat berbeda yang membentuk suatu kesatuan. Ungkapan "Kami pisahkan antara keduanya" adalah terjemahan kata Arab "fataqa", dan bermakna bahwa sesuatu muncul menjadi ada melalui peristiwa pemisahan atau pemecahan struktur dari "ratq". Perkecambahan biji dan munculnya tunas dari dalam tanah adalah salah satu peristiwa yang diungkapkan dengan menggunakan kata ini.

Marilah kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini. Dalam ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat "fatq". Keduanya lalu terpisah ("fataqa") satu sama lain. Menariknya, ketika mengingat kembali tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa satu titik tunggal berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan kata lain, segala sesuatu, termasuk "langit dan bumi" yang saat itu belumlah diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang masih berada pada keadaan "ratq" ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materi-materi yang dikandungnya untuk "fataqa" (terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam semesta terbentuk.

Ketika kita bandingkan penjelasan ayat tersebut dengan berbagai penemuan ilmiah, akan kita pahami bahwa keduanya benar-benar bersesuaian satu sama lain. Yang sungguh menarik lagi, penemuan-penemuan ini belumlah terjadi sebelum abad ke-20.

Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.

"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al Qur'an, 21:33)

Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:

"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)

Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.

Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur'an sebagai berikut:

"Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (Al Qur'an, 51:7)

Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah "berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.

Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.

Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis edar" sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al Qur'an yang diturunkan pada saat itu: karena Al Qur'an adalah firman Allah.

"Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam..." (Al Qur'an, 39:5)

Dalam Al Qur'an, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai "menutupkan" dalam ayat di atas adalah "takwir". Dalam kamus bahasa Arab, misalnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu di atas yang lain secara melingkar, sebagaimana surban dipakaikan pada kepala.

Keterangan yang disebut dalam ayat tersebut tentang siang dan malam yang saling menutup satu sama lain berisi keterangan yang tepat mengenai bentuk bumi. Pernyataan ini hanya benar jika bumi berbentuk bulat. Ini berarti bahwa dalam Al Qur'an, yang telah diturunkan di abad ke-7, telah diisyaratkan tentang bentuk planet bumi yang bulat.

Namun perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur'an berisi informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al Qur'an adalah firman Allah, maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat digunakan dalam ayat-ayatnya ketika menjelaskan jagat raya.

Dalam Al Qur'an, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang sangat menarik tentang langit:

"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al Qur'an, 21:32)

Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah abad ke-20.

Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk hidup.

Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar ditembus oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, - seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet tepi, dan gelombang radio. Semua radiasi ini sangat diperlukan bagi kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya menembus atmosfir, sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan matahari ditahan oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya sebagian kecil dan penting saja dari spektrum ultraviolet yang mencapai bumi.

Fungsi pelindung dari atmosfir tidak berhenti sampai di sini. Atmosfir juga melindungi bumi dari suhu dingin membeku ruang angkasa, yang mencapai sekitar 270 derajat celcius di bawah nol.

Tidak hanya atmosfir yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya. Selain atmosfir, Sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat keberadaan medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya yang mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus- menerus dipancarkan oleh matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi makhuk hidup. Jika saja sabuk Van Allen tidak ada, semburan energi raksasa yang disebut jilatan api matahari yang terjadi berkali-berkali pada matahari akan menghancurkan seluruh kehidupan di muka bumi.

Dr. Hugh Ross berkata tentang perang penting Sabuk Van Allen bagi kehidupan kita:

Bumi ternyata memiliki kerapatan terbesar di antara planet-planet lain di tata surya kita. Inti bumi yang terdiri atas unsur nikel dan besi inilah yang menyebabkan keberadaan medan magnetnya yang besar. Medan magnet ini membentuk lapisan pelindung berupa radiasi Van-Allen, yang melindungi Bumi dari pancaran radiasi dari luar angkasa. Jika lapisan pelindung ini tidak ada, maka kehidupan takkan mungkin dapat berlangsung di Bumi. Satu-satunya planet berbatu lain yang berkemungkinan memiliki medan magnet adalah Merkurius - tapi kekuatan medan magnet planet ini 100 kali lebih kecil dari Bumi. Bahkan Venus, planet kembar kita, tidak memiliki medan magnet. Lapisan pelindung Van-Allen ini merupakan sebuah rancangan istimewa yang hanya ada pada Bumi. (http://www.jps.net/bygrace/index. html Taken from Big Bang Refined by Fire by Dr. Hugh Ross, 1998. Reasons To Believe, Pasadena, CA.)

Energi yang dipancarkan dalam satu jilatan api saja, sebagaimana tercatat baru-baru ini, terhitung setara dengan 100 milyar bom atom yang serupa dengan yang dijatuhkan di Hiroshima. Lima puluh delapan jam setelah kilatan tersebut, teramati bahwa jarum magnetik kompas bergerak tidak seperti biasanya, dan 250 kilometer di atas atmosfir bumi terjadi peningkatan suhu tiba-tiba hingga mencapai 2.500 derajat celcius.

Singkatnya, sebuah sistem sempurna sedang bekerja jauh tinggi di atas bumi. Ia melingkupi bumi kita dan melindunginya dari berbagai ancaman dari luar angkasa. Para ilmuwan baru mengetahuinya sekarang, sementara berabad-abad lampau, kita telah diberitahu dalam Al Qur'an tentang atmosfir bumi yang berfungsi sebagai lapisan pelindung.

Ayat ke-11 dari Surat Ath Thaariq dalam Al Qur'an, mengacu pada fungsi "mengembalikan" yang dimiliki langit.

"Demi langit yang mengandung hujan." (Al Qur'an, 86:11)

Kata yang ditafsirkan sebagai "mengandung hujan" dalam terjemahan Al Qur'an ini juga bermakna "mengirim kembali" atau "mengembalikan".

Sebagaimana diketahui, atmosfir yang melingkupi bumi terdiri dari sejumlah lapisan. Setiap lapisan memiliki peran penting bagi kehidupan. Penelitian mengungkapkan bahwa lapisan-lapisan ini memiliki fungsi mengembalikan benda-benda atau sinar yang mereka terima ke ruang angkasa atau ke arah bawah, yakni ke bumi. Sekarang, marilah kita cermati sejumlah contoh fungsi "pengembalian" dari lapisan-lapisan yang mengelilingi bumi tersebut.

Lapisan Troposfir, 13 hingga 15 km di atas permukaan bumi, memungkinkan uap air yang naik dari permukaan bumi menjadi terkumpul hingga jenuh dan turun kembali ke bumi sebagai hujan.

Lapisan ozon, pada ketinggian 25 km, memantulkan radiasi berbahaya dan sinar ultraviolet yang datang dari ruang angkasa dan mengembalikan keduanya ke ruang angkasa.

Ionosfir, memantulkan kembali pancaran gelombang radio dari bumi ke berbagai belahan bumi lainnya, persis seperti satelit komunikasi pasif, sehingga memungkinkan komunikasi tanpa kabel, pemancaran siaran radio dan televisi pada jarak yang cukup jauh.

Lapisan magnet memantulkan kembali partikel-partikel radioaktif berbahaya yang dipancarkan Matahari dan bintang-bintang lainnya ke ruang angkasa sebelum sampai ke Bumi.

Sifat lapisan-lapisan langit yang hanya dapat ditemukan secara ilmiah di masa kini tersebut, telah dinyatakan berabad-abad lalu dalam Al Qur'an. Ini sekali lagi membuktikan bahwa Al Qur'an adalah firman Allah.

Sumber : Harun Yahya

Buku Harun Yahya

Penciptaan Alam Semesta

 
Guru Geografi- Tema Blog by Wordpress. Theme designed by Web Hosting Geeks and Top WordPress Themes.
Desain Novo Blogger